Seputar Bona Pasogit Samosir

Kawasan Danau Toba, Samosir


Bantu Tekan Subscribe 🙏

SAMOSIR

Di Samosir, Mitu Dianggap Tradisi Dan Masih Melekat Hingga Kini

SEPUTAR BONA PASOGIT SAMOSIR
Minggu 10 2016, 22:17 WIB
Last Updated 2016-07-11T01:19:13Z
Marmitu di Warung Pak. Pinondang Sitanggang di tepi pantai Danau Toba, tepatnya berseberangan dengan Hotel Sinur Sejahtera, Desa Pardugul Buhit Kabupaten Samosir.
Samosir, Bona Pasogit

Banyak hal yang berkaitan dengan kebiasaan masyarakat di suatu daerah, mungkin telah terlupakan di era globalisasi ini. Namun tidak demikian bagi orang Batak yang tinggal di Bona Pasogit (Tanah kelahiran-red) Kabupaten Samosir. Masih banyak tradisi yang melekat hingga kini. Salah satunya Minum Tuak (Mitu) di Lapo (Warung-red), yang sudah dianggap sebagai bagian dari tradisi.

Hal itu terbukti dari menjamurnya pengusaha atau pemilik warung Tuak di Samosir. Dari hasil pengamatan Seputar Bona Pasogit Samosir, Kabupaten Samosir yang memiliki 9 Kecamatan, 128 Desa, dan 6 Kelurahan, dimasing-masing desa minimal berdiri 3 warung Tuak.

Pada umumnya, warung Tuak sudah didatangi para penggemarnya mulai pukul. 18.00 wib. Dan peminat, rata-rata berjumlah paling sedikit 5 orang disetiap warung, setiap harinya. Peminat pada umumnya didominasi usia 30 hingga 50 tahun.

Sebagian orang menanggapi kebiasaan ini tidak baik adanya. Namun, tidak sedikit pula yang mengaku, rutinitas ini justru sifatnya positif. Dengan hadir di Lapo untuk Mitu, sekaligus menjadi sarana untuk menjalin silaturahmi antar sesama.

Seperti pengakuan salah satu warga Samosir yang enggan namanya disebutkan, saat bincang-bincang dengan Seputar Bona Pasogit Samosir baru-baru ini mengatakan bahwa, dirinya tidak melihat adanya faktor negatif atau yang merugikan dari tradisi itu.

"Saya menilai, minum tuak sah-sah saja dan merupakan sebuah tradisi bagi orang Batak, secara khusus yang tinggal di Bona Pasogit. Bahkan di perantauan sendiripun, kebiasaan ini tidak luput dari orang Batak pada umumnya.

Bila ada yang menanggapi hal ini tidak baik adanya, itu juga sah-sah saja. Karena erat hubungannya dengan kondisi perekonomian. Setiap orang minimal minum tuak 2 gelas per harinya, tentu mengeluarkan kocek senilai Rp. 6 ribu setiap malamnya.

Jika dihitung perbulannya, tentu pengeluaran per individu mencapai Rp. 200 ribu hingga Rp. 300 ribu perbulannya, itu masih diluar biaya seperti membeli rokok dan yang lainya. Tentu bagi masyarakat yang ekonominya masih tergolong rendah, hal ini bisa memicu terjadinya konflik dalam rumahtangga.

Dimana, hal itu bisa saja dianggap sebuah ego dari kaum adam, secara khusus yang sudah berumahtangga.  Karena untuk kebutuhan pribadi yang bukan tergolong kebutuhan primer, harus mengeluarkan biaya kisaran ratusan ribu rupiah perbulannya. Sementara masih banyak kebutuhan lain yang mesti dipikirkan, seperti perbekalan sehari-harinya dirumah dan kebutuhan anak.

Selain itu, faktor pendukung lainnya mengapa sebagian menilai minum tuak berdampak tidak baik, tentu dengan alasan bisa merusak diri yang berhubungan dengan kesehatan, keselamatan. Namun semua itu boleh terjadi, bila minum terlalu berlebihan atau dengan kata lain, tidak mampu mengontrol diri.

Memang, akibat dari minum tuak bisa fatal, tapi itu hanya bagi mereka yang mengkonsumsi terlalu banyak. Misalnya, jatuh saat berkendara atau kecelakaan, terjadi pertengkaran akibat salah paham, organ tubuh bagian dalam rusak seperti terjadinya asam lambung dan maag bagi mereka yang minum sebelum makan. Dimana, tuak persis dengan minuman botol beralkohol, yang bisa membuat  pusing dan tidak kontrol diri.

Namun disisi lain, tradisi mitu di Lapo juga ada sisi baiknya. Selain untuk menenangkan pikiran, disana juga terjalin silahturahmi antar sesama. Satu sama lain bisa saling mengenal lebih dekat. Karena yang datang minum di satu Lapo, kadang tidak hanya warga setempat. Tetapi ada juga dari luar, misalnya warga dari desa lain.

Di Lapo sendiri, tidak sedikit pribadi yang mau mengutarakan permasalahan yang sedang menimpa dirinya. Mulai dari masalah keluarga, pekerjaan, ekonomi dan lain sebagainya. Sehingga dengan demikian, teman sesama peminum, bisa membantu dan memberikan solusi terbaik untuk mengatasinya.

Walau tidak membantu sepenuhnya dan tidak semua persoalan dapat teratasi, setidaknya bisa membantu menenangkan pikiran untuk sesaat. Sehingga dapat berpikir jernih kembali berkat saran, masukan atau solusi dari teman mitu.

Dengan semua itulah, sah-sah saja bila ada yang menilai tradisi mitu ada baik buruknya. Namun harus saya pertegas juga, dengan semua penjelasan ini, bukan menyatakan bahwa, tradisi mitu baik dilestarikan.

Hanya saja, saya berharap para pemilik warung tuak di Samosir, agar benar-benar profesional dalam menjalankan usaha warung tuak. Dengan artian, tidak menjual tuak oplosan kepada konsumennya. Karena akan berakibat buruk bagi kesehatan tubuh para peminum," paparnya.

Demikianlah disampaikan seorang sumber baru-baru ini disebuah warung tuak milik Pak. Pinondang Sitanggang, yang berada di tepi pantai Danau Toba, di Desa Pardugul Buhit, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir. (Helbos)

Pangururan, 06 Juli 2016 22:36
"Dongan Sapartinaonan, O Parmitu"


Posted By Helbos Sitanggang

TRENDING TOPIKMore