Tumpal P. Simanjorang, SE. (Penggagas Kelompok Diskusi “KPMS-Visioner"). |
Menyadari akan pentingnya pembangunan infrastruktur sebagai pondasi yang kuat untuk melangkah menjadi negara maju, maka Presiden RI, Joko Widodo semenjak menjabat telah melakukan pembangunan infrastruktur secara masif dan merata di seluruh pelosok tanah air.
Sesuai dengan program Nawa Cita, pemerintah membuktikan komitmen mewujudkan pembangunan dari pinggiran dan desa dengan pembangunan infrastruktur di berbagai bidang.
Berangkat dari situ, dan menydari kondisi objektif Kawasan Danau Toba (KDT) pun dicanangkan sebagai salah satu bagian dari ‘Program Super Prioritas', program ini jelas menjadi anugerah yang luar biasa dari pemerintah pusat untuk rakyat pada tujuh kabupaten yang berada pada KDT.
Dengan program ini, maka uang ribuan miliar akan dikucurkan oleh pemerintah pusat untuk melaksanakan berbagai kegiatan untuk mewujudkan program.
Salah satu kegiatan program ini adalah pembangunan sarana dan prasarana infrastruktur.
Yang menjadi pertanyaan adalah mengenai anugerah yang disebut tadi. Mungkinkah itu benar-benar diterima dan dinikmati oleh masyarakat lokal KDT?
Pelaku dan Penerima Manfaat
Sebuah program pembangunan dirancang dan dibuat dengan tujuan untuk mendapatkan manfaat. Ini adalah prinsip! Tak terkecuali pembangunan KDT yang diarahkan menjadi ‘Bali Baru'.
Karena pembangunan KDT ini diarahkan kepada pembangunan sarana dan prasarana infrastruktur seperti infrastruktur jalan, bandara, bendungan, jembatan, pelabuhan dan lain sebagiannya, tentulah sangat memberikan beribu manfaat bagi terbukanya 'jalan' perkembangan dan pertumbuhan ekonomi.
Sejarah membuktikan, dengan adanya pembangunan infrastruktur maka sebuah daerah akan mengalami kemajuan yang pesat, karena mampu memperlancar urat nadi yang menjadi ciri khas daerah-daerah tertentu dan akan terekspose ke permukaan umum, serta dikenal banyak orang setelah terbukanya jalur transportasi dan komunikasi.
Jelas, pembangunan infrastruktur adalah modal dan tujuan untuk mensejahterakan rakyat.
Tetapi, bagaimanakah hal itu bisa terwujud bila dalam pelaksanaan pembangunan itu, warga tidak ikut terlibat dalam proses dan pelaksanaannya?.
Dalam sebuah proses pembangunan, mereka yang ada di tempat dilakukannya pembangunan, harus dilibatkan.
Dengan keterlibatan itu, maka mereka menjadi pelaku dan sekaligus penerima manfaat. Adanya proses yang demikian, maka pembangunan yang dilakukan telah benar-benar mengangkat harkat dan martabat rakyat yang notabene adalah subjek dan objek dari pembangunannya.
Ketersedian SDM Unggul
Sayangnya kesiapan masyarakat setempat, tempat dimana pembangunan itu dilakukan, atau dalam hal ini kita sebut saja dengan istilah masyarakat lokal, sering tidak berjalan sebagaimana yang diharapakan.
Masyarakat lokal yang disasar sebagai pelaku sebagaimana yang telah disebutkan di atas, ternyata tidak dapat memenuhi kualifikasi sebagaimana yang disyaratkan.
Pada situasi ini, terjadilah dilemasitas antara meneruskan pembangunan dengan kondisi ketidak tersediaan SDM yang memadai dengan tidak meneruskan pembangunan yang berdampak pada daerah itu, pasti akan semakin tertinggal.
Walau pada akhirnya pembangunan itu diteruskan, tentulah hasilnya tidak lagi optimal, karena setidaknya sebagian dari dana pembangunan itu akan ‘keluar’ kembali, oleh pelaku dari luar Samosir.
Persoalan SDM inilah yang saya lihat selama kurang lebih lima tahun dilaksanakannya proses ‘Pembangunan Super Prioritas’ itu di Samosir.
Dari beberapa proyek terkait infrastruktur, keterlibatan warga lokal terlihat sangat minim. Jelas situasi ini sangat tidak kondusif.
Daerah Samosir yang menerima programnya, tetapi para pelaku dan penerima manfaatnya tidak optimal diterima oleh Samosir.
Situasi ini jelas tidak baik. Harus ada upaya yang dilakukan agar di Samosir tersedia SDM yang siap menyambut berbagai program yang ada dan akan diadakan.
Menyikapi situasi ini, maka tidak ada tawar-menawar lagi bahwa soal penyiapan SDM ini sudah mendesak ditangani agar dapat menjawab kebutuhan yang ada, sehingga warga lokal tidak menjadi penonton. Intinya, Samosir harus menyiapkan SDM Unggul!.
Dalam melaksanakan serangkaian diskusi dengan berbagai kalangan perantau dan par-Bonapasogit Samosir dengan berbagai latar belakangnya, terangkum sebuah kesimpulan bahwa soal SDM Unggul ini sudah segera untuk dibenahi.
Terkait pembenahan itu, ada dua wadah atau model yang diajukan, yaitu Akademi Komunitas dan Vocational Training.
Terlepas kekurangan dan kelebihan dari kedua model itu, umumnya peserta diskusi menyepakati sektor Parwisata dan Pertanian yang menjadi fokus pembinaan.
Patut dicatat beberapa nama yang terlibat dalam diskusi ini adalah:
- Benny Pasaribu, PhD (Anggota KEIN & Sekjend. HKTI)
- Sangkap Sihotang, SH (anggota Tim Pemrakarsa Pemekaran Kabupaten Samosir)
- Prof Dr. Ir. Yualar Simarmata (Guru Besar Fakultas Pertanian Unpad)
- Prof. Dr. Roberd Saragih Turnip (Guru Besar ITB dan mantan Rektor DEL)
- Mangadar Situmorang, PhD (Rektor Universitas Katolik Parhyangan)
- Dr. (iur) Liona Nanang S. (Dekan Fakultas Hukum UNPAR)
- Kol. Jfr Simbolon (Pengusaha Wisata di Batam)
- Annette Hroschmann (Tabo Cottage)
- Lasro Simbolon (Diplomat & mantan Dubes RI di Rusia)
- Alfons Samosir (mantan Diplomat RI di Swis)
- Carlos Melgares, dan banyak lagi nama-nama yang memiliki konsern dengan Samosir.
Semoga dengan lahirnya SDM Unggul ini, akan menjadikan Samosir Unggul.
Dan yang lebih penting dari itu adalah Program Super Prioritas tidak menjadi bagian ‘mainan’ orang pusat di KDT. Tidak terkecuali di Samosir. (By: Tumpal P. Simanjorang, SE. (Penggagas Kelompok Diskusi “KPMS-Visioner”)
Editor : H Rey S
Kita Serius Corona Putus
Narkoba Dan Obat Terlarang Adalah Racun Mematikan.
Mari Bersama Kita Selamatkan Generasi Bangsa Ini Dari Bahaya Narkoba Dan Obat-obatan Terlarang Lainnya.
Mari Bersama Kita Selamatkan Generasi Bangsa Ini Dari Bahaya Narkoba Dan Obat-obatan Terlarang Lainnya.