Seputar Bona Pasogit Samosir

Kawasan Danau Toba, Samosir


Bantu Tekan Subscribe 🙏

ARTIKEL

Raja Bius, Masihkah ‘MEMBIUS’ di Tanah Batak?

SEPUTAR BONA PASOGIT SAMOSIR
Minggu 27 2020, 08:44 WIB
Last Updated 2024-04-19T05:30:27Z
Ilustrasi | Bona Pasogit

Seputar, Bona Pasogit
Judul catatan ini memang berangkat dari sebuah pertanyaan saya.

Pertanyaan ini pertama kali melintas dalam benak saya, saat melakukan perjalanan menjadi fasilitator dalam FGD (Focus Group Discussion) percepatan pengakuan perlindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA) bulan Mei 2019, di Serenauli Hotel, Laguboti. 

Saat itu, kami bertemu, berdiskusi dan berdialog dengan 13 (tiga belas) MHA yang berasal dari Tapanuli Utara, Toba, Samosir, dan Simalungun.

Kemudian dalam tahun 2020, saya beberapa kali melakukan perjalanan ke beberapa daerah di seputaran Danau Toba. 

Bulan Juli 2020, pertanyaan ini muncul kembali saat saya menjadi fasilitator FGD yang sama untuk MHA di Kabupaten Toba, yang diadakan di Kantor Bupati Toba di Balige.


Semakin gencar lah pertanyaan ini muncul dalam pikiran saya, saat saya ke Sipahutar di Tapanuli Utara untuk bertemu dan berdialog dengan Komunitas Masyarakat Adat Pomparan Ompu Ronggur Simanjuntak, Pomparan Ompu Bolus Simanjuntak dan Pomparan Ompu Guru Tahuak Simanjuntak.

Dalam bulan Agustus 2020, sekitar 2 minggu saya berada di Dolok Sanggul, berjumpa dan berdialog, serta menyusuri jejak keberadaan dan budaya MHA Pandumaan Sipituhuta. 

Dalam bulan Oktober 2020, saya melakukan perjalanan pengabdian ke Samosir. Bahkan, dua kali dalam sebulan.

Saya menelusuri riwayat, jejak dan keberadaan Pomparan Ompu Pamogang Situmorang, Ompu Sodjuangon Situmorang dan Ompu Raja Ulosan Sinaga. Tiga komunitas MHA ini berada di Tele, Samosir. 

Rangkaian perjalanan menyusuri beberapa sudut Tanah Batak ini, membuat pertanyaan saya di atas semakin bergema di alam bawah sadar saya, yang kemudian mendorong saya untuk terus mencari dan menggali informasi baik secara lisan dari berbagai nara sumber maupun secara tertulis lewat berbagai referensi atau pustaka.

Untuk mulai mengurai jawabannya, saya awali dengan sedikit berbagi informasi seputar hutan adat di Sumatera Utara. Sampai catatan ini saya buat, belum ada satupun hutan adat di Sumatra Utara!.

Saya akan mengawali catatan ini dengan cerita verifikasi hutan adat perdana di Sumatra Utara.

Verifikasi Hutan Adat Perdana di Sumatera Utara.

Akhir Agustus 2020, saya bersama kawan-kawan sebanyak 20 orang, melakukan verifikasi Hutan Adat Pandumaan Sipituhuta di Kabupaten Humbang Hasundutan.

Ini adalah verifikasi hutan adat pertama kali di Sumatra Utara. Jadi kalau hasil verifikasinya baik, maka kelak akan terbit Keputusan Menteri LHK untuk Hutan Adat "Tombak Haminjon" Pandumaan Sipituhuta – Hutan Adat pertama di Sumatra Utara.

Yang diverifikasi dalam kegiatan ini adalah subjek atau komunitas Masyarakat Hukum Adat (MHA)- nya dan objek atau wilayah adat calon hutan adatnya, dengan berpedoman pada Peraturan Menteri LHK No. P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/8/2020 TENTANG HUTAN ADAT DAN HUTAN HAK. 

Verifikasi ini adalah pekerjaan yang sangat kompleks, namun asyik dan menyenangkan bagiku. Pekerjaan yang melibatkan berbagai instansi terkait dalam Tim Terpadu.

Selain kami dari Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Wilayah Sumatra sebagai leading sector, ada juga personil dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah II Medan, Balai Pengelolaan Hutan Produksi (BPHP) Wilayah II Medan, Balai Litbang LHK Aek Nauli, Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara, Fakultas Isipol (Program Studi Antropologi) USU, Fakultas Kehutanan USU, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Humbang Hasundutan, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Humbang Hasundutan, KPH Wilayah XIII Dolok Sanggul, Camat Pollung, KSPPM dan PT. Toba Pulp Lestari.


Dinamika, diskusi, pembahasan bahkan perdebatan sepanjang jalan verifikasi cukup alot dan seru. Namun akhirnya semua selesai pada waktunya. Semua hasil verifikasi dirumuskan bersama, dibaca bersama, dibahas bersama dan kemudian ditandatangani bersama. 

Kerja kami sudah selesai. Urusan selanjutnya bukan lagi domain dan kewenangan kami. Kami hanya memotret dan menyerahkan gambarnya pada pimpinan yang menugaskan kami. 

Tinggal lagi pencermatan dan pembahasan oleh pimpinan kami di KLHK. 

Maaf, jangan kalian tanyakan padaku apa hasil verifikasi, kami hanya melaporkan kepada pimpinan yang memberi tugas kepada kami.

Paling-paling hanya informasi umum yang bisa kuberikan.


Satu hal yang cukup berkesan bagiku secara pribadi, adalah ketika dalam tugas verifikasi ini, oleh karena suatu situasi aku diperintahkan juga oleh pimpinan untuk menjadi mediator dalam sebuah pertemuan mediasi antara MHA Pandumaan Sipituhuta dengan masyarakat desa tetangga, yaitu Desa Pansur Batu.

Proses mediasi berjalan alot namun tetap lancar dan akhirnya tercapai kesepakatan penuh suka cita, tanpa tekanan, paksaan, ataupun intimidasi dari pihak manapun.

Rumusan kesepakatan kemudian dibaca bersama-sama dan juga ditandatangani bersama.

Jadi peranku dalam perjalanan ini, menjadi verifikator hutan adat sekaligus mediator konflik.

Sungguh pengalaman yang sangat berharga dan berkesan. 

Payung Hukum MHA

Keberadaan MHA Pandumaan Sipituhuta telah mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari pemerintah daerah setempat, melalui Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Humbang Hasundutan Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pengakuan dan Perlindungan MHA Pandumaan Sipituhuta yang ditetapkan di tanggal 31 Januari 2019 dan diundangkan tanggal 1 Februari 2019 di Dolok Sanggul.

Atas dasar Perda ini, terbitlah Keputusan Bupati Humbang Hasundutan Nomor 201 Tahun 2019 tentang Wilayah Adat MHA Pandumaan Sipituhuta.

Jauh sebelum adanya Perda dan Keputusan Bupati dimaksud, Menteri LHK melalui SK.923/Menlhk/Setjen/HPL.O/12/2016 telah mengalokasikan atau mencadangkan areal seluas 5.172 ha untuk Hutan Adat Tombak Haminjon Pandumaan Sipituhuta. 

Kelembagaan Adat

Dalam Perda Nomor 3 Tahun 2019 ini, kelembagaan adat MHA Pandumaan Sipituhuta disebutkan terdiri dari Raja Bius, Boru Bius, Raja Paradatan, Boru Paradatan dan lembaga-lembaga lain (Pasal 13).

Pada bagian penjelasan Pasal 13 disebutkan bahwa, pembentukan lembaga lain disepakati oleh tua-tua adat.

Contoh untuk lembaga lain adalah Pengurus Patik Haminjon.

Raja Bius adalah golongan marga pemangku adat yang dihormati dan diakui dalam wilayah Masyarakat Hukum Adat (Pasal 1 Angka 14), yaitu marga Lumban Batu dan marga Lumban Gaol (Pasal 14 ayat 1), yang berperan memimpin penyelenggaraan upacara-upacara (Pasal 15 ayat 1).

Boru Bius adalah golongan marga boru dari golongan marga Raja Bius (Pasal 1 angka 15), yaitu marga Nainggolan, Pandiangan, Sihite, Situmorang, Aritonang, Sinambela, Lubis dan Tamba (Pasal 14 ayat 2).

Raja Paradatan adalah golongan marga yang berada dalam satu wilayah adat yang bersepakat melaksanakan tata cara adat, dengan tetap berpedoman pada aturan adat yang telah disepakati oleh Masyarakat Hukum Adat (Pasal 1 angka 16), yaitu gologan marga-marga yang ada dalam wilayah adat MHA Pandumaan Sipituhuta, yang bertugas melayani (parhobas) dalam upacara-upacara adat (pasal 15 ayat 4).

Boru Paradatan adalah golongan marga boru dari golongan marga Raja Paradatan (Pasal 1 angka 17), yaitu marga Manullang, Siregar, Pasaribu dan Munthe (Pasal 14 ayat 4), yang bertugas melayani (parhobas) dalam upacara-upacara adat (Pasal 15 ayat 4).

Tua-Tua Adat adalah golongan orang yang memiliki pengetahuan adat sebagai utusan marga-marga yang terdapat dalam satu desa (Pasal 1 angka 18), yang bertugas memberi pertimbangan, nasehat, masukan dan saran (maniroi) dalam penyelenggaraan upacara-upacara adat termasuk menyelesaikan sengketa pelanggaran adat melalui rapat adat (Pasal 15 ayat 5).

Wilayah Adat dan Tata Ruang
Dalam Keputusan Menteri LHK Nomor SK.923/Menlhk/Sekjen/HPL.0/12/2016 tentang Perubahan Kelima Atas Keputusan Menhut Nomor 493/Kpts-II/1992 tentang Pemberian HPHTI Kepada PT. Indo Rayon Utama, Pasal 1 huruf c berbunyi:

“Areal seluas ± 5.172 ha sebagaimana pada huruf a, dialokasikan untuk Hutan Adat Desa Pandumaan dan Desa Sipituhuta, Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara, sebagai hutan kemenyan Tombak Haminjon Masyarakat Hukum Adat Pandumaan-Sipituhuta, silsilah marga Marbun Lumban Gaol sebagai marga bius huta”.

Dengan adanya keputusan tersebut, maka areal hutan adat Tombak Haminjon seluas 5.172 ha secara resmi dicadangkan sebagai areal hutan adat MHA Pandumaan Sipituhuta.Di Pandumaan Sipituhuta, tata ruang wilayah adat meliputi perkampungan (huta), persawahan (saba), perladangan (pargadongan), tempat penggembalaan ternak (jampalan) dan hutan atau tombak (Pasal 7).

Inilah cerita dari perjalanan Verifikasi Hutan Adat Pandumaan Sipituhuta, yang jika terbit SK-nya kelak, akan menjadi hutan adat perdana di Sumatra Utara.

Dalam catatan saya, di Sumatra Utara, sudah ada 3 Kabupaten yang telah menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan MHA.

Selain Humbang Hasundutan, dengan Perda sebagaimana saya sebut di atas, Kabupaten Toba juga sudah menerbitkan Perda-nya.

Perda dimaksud adalah Perda Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Hak Ulayat MHA Batak Toba Samosir.

Perda ini ditetapkan pada tanggal 14 Februari 2020 dan diundangkan di Balige tanggal yang sama.

Kemudian yang terkini, pada tanggal 16 Desember 2020, DPRD Kabupaten Tapanuli Utara telah mengesahkan Perda Pengakuan Perlindungan MHA di Kabupaten Tapanuli Utara.

Hanya saja sampai dengan catatan ini saya buat, saya belum mendapat salinan naskah Perda tersebut, maka saya belum tahu pula Perda nomor berapa itu.

Kelembagaan Adat Batak Toba

Menurut Perda Kabupaten Toba Nomor 1 Tahun 2020, Lembaga Adat adalah lembaga atau perangkat organisasi yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan sejarah masyarakat adat Batak sebagai wadah yang mandiri bagi para tokoh adat untuk mengatur dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan bidang adat istiadat sesuai dengan hukum adat Batak (Pasal 1 angka 7).

Lembaga Adat merupakan lembaga adat Masyarakat Hukum Adat Batak Toba Samosir yang dibentuk dalam rangka mendukung upaya pelestarian, pengembangan dan pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Batak Toba Samosir beserta dengan kearifan lokal yang mencerminkan karakteristik adat Batak Toba Samosir (Pasal 17).

Lembaga Adat mengemban peran dan fungsi mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan masyarakat hukum adat Batak Toba Samosir dengan mengacu pada hukum adat Batak Toba Samosir setempat (Pasal 18).

Wilayah Adat dan Tata Ruang Adat Batak Toba
Dalam Perda Kabupaten Toba Nomor 1 Tahun 2020, diatur pula Kriteria Wilayah Adat Masyarakat Hukum Adat Batak Toba Samosir meliputi:

a. Tempat lingkungan hidup bersama warga berdasarkan persekutuan hukum adat;

b. Peruntukan, pemanfaatan dan pemeliharaan dilakukan menurut hukum adat;

c. Dikuasai secara fisik oleh masyarakat hukum adat secara turun temurun;

d. Digunakan sebagai sumber utama kehidupan dan mata pencaharian masyarakat hukum adat;

e. Terintegrasi dengan kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat hukum adat;

f. Menjadi sumber pemungutan hasil bumi untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat hukum adat; (Pasal 13 ayat 1).

Perlu kami informasikan juga bahwa, saat Perda ini disahkan, Kabupaten Toba masih menggunakan nomenklatur lama ‘Kabupaten Toba Samosir’.

Selanjutnya Kriteria Wilayah Adat Masyarakat Hukum Adat Batak Toba Samosir berdasarkan hak penguasaan meliputi ripe-ripe (komunal) dan pangumpolan atau individual (Pasal 13 ayat 2).

Sementara itu, tata ruang wilayah adat meliputi:

- Huta (perkampungan)
- Panghaisan ni manuk (pekarangan)
- Hauma (persawahan atau perladangan)
- Parjampalan (padang penggembalaan ternak)
- Parbandaan (kuburan/makam)
- Mual (mata air)
- Tombak (tempat mengambil kayu)
- Pangeahan (lidah tanah)
- Harangan/tombak raja (hutan tempat resapan air)
- Kawasan lain yang ditetapkan peruntukannya sesuai dengan hukum adat (Pasal 1 ayat 3).

Untuk Kabupaten Samosir, dari dua kali kunjungan saya sebagaimana tersebut di atas, sampai saat ini belum ada Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. 

Yang ada masih dalam bentuk draft Perda.

Saat melakukan kunjungan ke Samosir, saya mendapatkan informasi bahwa telah terbit Keputusan Bupati Samosir Nomor 2016 Tahun 2018 tanggal 18 September 2018 tentang Pembentukan Panitia Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Samosir.

Kemudian pada tanggal 4 Agustus 2020, telah dilaksanakan Rapat Kerja Badan Pembentukan Peraturan Daerah DPRD Kabupaten Samosir bersama Tim Legislasi Kabupaten Samosir Tahun 2020 dalam rangka Pembahasan Ranperda Kabupaten Samosir Tahun 2020, dimana salah satu Ranperda yang dibahas adalah Ranperda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, Tanah Ulayat Batak dan pemanfaatannya dan Ranperda ini disepakati akan menjadi salah satu prioritas yang akan dibahas dan ditetapkan melalui Rapat Paripurna bersamaan dengan Penetapan APBD Tahun 2021.

Pada rapat ini juga, disepakati bahwa sebelum finalisasi dan pembahasan dalam Rapat Paripurna, perlu dilakukan pembahasan atau konfirmasi dengan MHA/Pemangku Tanah Adat Pomparan (Keturunan) Ompu Ulason Sinaga.

Juga bahwa Ranperda ini perlu dilengkapi lagi dengan Naskah Akademis atau Hasil Kajian/Harmonisasi dari Kanwil Kemenkumham Propinsi Sumatra Utara.

Demikianlah serangkai cerita tentang Perda Pengakuan dan Perlindungan MHA di kabupaten-kabupaten seputar Tanah Batak di Sumatra Utara. 

Pemerintahan Tradisional Batak

Sekarang, mari kita lihat informasi yang ada dari literasi yang saya temukan.

Dalam buku Pemerintahan (Harajaon) dan Birokrasi Tradisional Masyarakat Toba yang ditulis Ulber Silalahi, dijelaskan bahwa harajaon atau pemerintahan bius merupakan pemerintahan konfederasi dari beberapa pemerintahan horja dan pemerintahan huta yang ada di dalamnya.

Penduduk dari suatu wilayah tertentu dapat bersekutu atau membentuk suatu komunitas yang bersepakat secara bersama-sama melaksanakan berbagai kegiatan untuk kepentingan bersama seperti ritus pemberian kurban kepada dewa untuk menghindari malapetaka dan menyuburkan tanah.

Komunitas ini disebut sacrificial community dan wilayah pemerintahan komunitas ini disebut harajaon bius. 

Bius biasanya dibentuk berdasarkan kedekatan teritori atau geografis, bukan berdasarkan stelsel marga atau ginealogis.

Meskipun demikian, ada juga bius yang terikat oleh ginealogis.

Apapun dasar pembentukan dan pengikat bius, apakah berdasarkan kedekatan geografis atau berdasarkan ikatan kekerabatan dan ginealogis, bius merupakan satu wilayah pemerintahan dari sekelompok penduduk dari berbagai horja dan dari berbagai huta menjadi satu kesatuan pemerintahan berdasarkan teritorial (hal.166). 

Bius terdiri dari beberapa horja dan harajaon horja adalah suatu organisasi persekutuan atau konfederasi dari sejumlah wilayah huta.

Organisasi bius menjadi lembaga tertinggi dalam organisasi kemasyarakatan dari masyarakat Toba tradisional. Bius adalah konferedasi dari sejumlah horja, yaitu kira-kira 2-5 horja (hal.167).

Sementara itu, dalam buku Toba Na Sae yang ditulis Sitor Situmorang, saya menemukan beberapa informasi menarik tentang bius ini.

Sejak jaman dahulu, leluhur orang Batak yang secara kolektif disebut Si Raja Batak, menurunkan suku bangsa Batak Toba dan membangun sebuah paguyuban yang disebut bius. 

Paguyuban ini diambil menurut nama pemukiman yang berbentuk benteng bujur sangkar dan kemudian dijadikan model setiap huta yang dibangun di seluruh Toba.

Mereka kemudian hidup dengan hukum adat yang kemudian melembaga selama puluhan generasi.

Adat bius meliputi pengaturan:

1. Hukum pertanahan (hak ulayat)

2. Hukum relasi bertetangga (setelah jumlah bius bertambah atau kewilayahan antar bius)

3. Hukum penguasaan tanah, yang dalam bius disebut hukum golat

4. Hukum tali air (irigasi) dan perairan (sungai, danau)

5. Hukum sumber daya komunal (hutan, padang rumput penggembalaan, tanah cadangan untuk persiapan persawahan dan pemukiman (pangeahan), yang dikuasai secara bersama (kolektif) oleh paguyuban

6. Hukum yang mengatur hak dan kewajiban para penggarap sawah

7. Hukum yang mengatur hak pendiri/pemilik hutan (hal.12). 

Bius meliputi penduduk yang kewargaannya terjamin dengan hak dan kewajiban yang jelas.

Mereka memiliki hak suara (politik) dalam musyawarah warga di berbagai tingkat siding formal, berlaku bagi setiap orang dewasa (laki-laki yang sudah menikah). 

Hak kewargaan meliputi dua hak asasi lagi:

1. Hak atas tanah garapan;
2. Hak bebas pindah lain daerah/bius, dengan kewajiban mematuhi/membela dan menjalankan hukum bius di bidang pertahanan/keamanan dan tugas pembangunan/pemeliharaan tata air (hutan, sumber air, sistem irigasi, padang rumput, tanah cadangan dan sumber daya alam lainnya, tidak dimonopoli oleh perorangan atau kelompok warga tertentu) (hal.13).

Jumlah bius lebih kurang 150 di seluruh Toba, yang tersebar dalam empat distrik (hal.17), yaitu: Samosir, Toba-Holbung, Humbang dan Silindung (hal.26).

Bius pertama adalah bius Sagala Limbong di kaki Pusuk Buhit (hal.23). 

Pemerintahan bius diselenggarakan oleh dua jajaran pemangku adat. 

Jajaran pertama merupakan kelompok pendeta, yang menyelenggarakan upacara-upacara menurut kalender sebagai persekutuan sakral (aspek religius), sedangkan jajaran kedua bertangungjawab atas penyelenggaraan tertib hukum keamanan atau aspek sekuler (hal.24).

Hukum pertanahan dalam bius Batak Toba bersendi pada prinsip hak ulayat yang berdasar pada “hak kolektif” paguyuban atas seluruh sumber daya alam dan wilayah yang melembaga sebagai hukum (adat) bius yang membawahi atau mengayomi hak ulayat marga anggota (konstituen) bius (hal.34).

Dalam sistem bius, kedaulatan rakyat berada di tangan si tuan na torop (hal.41). Di masa kekuasaan Belanda, bius telah dihapuskan dan diganti dengan lembaga negeri (hal.43).

Sementara itu Vergouwen dalam bukunya Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba mengatakan bahwa masing-masing bius biasanya terdiri dari daerah-daerah yang tidak terlalu besar dan merupakan suatu komunitas politik dari beberapa ribu orang yang mempunyai rasa solidaritas yang sama dan berkembang di luar lingkungan pesta-pesat kurban yang sebenarnya. 

Sasaran pemujaan di dalam bius ini biasanya leluhur bersama dari semuanya (sombaon), para dewa dan roh-roh alam, dan semua nenek moyang (ompu si jolo-jolo tubu).

Ada kecenderungan untuk mengumpulkan seluruh bius kecil ini sehingga menjadi satu bius yang sangat besar, mencakup seluruh kelompok suku atau bagian yang sangat besar (hal. 84). 

Sekarang, kembali ke pertanyaan saya di awal yang sekaligus menjadi judul catatan ini, Raja Bius, masihkah ‘membius’ di tanah Batak?

Saya belum mendapatkan jawaban yang utuh dan meyakinkan saya, karena pada beberapa sudut tanah Batak yang saya datangi, Raja Bius hanya tinggal cerita. Kalaupun ada hanya disebut dan dipanggil saat pesta untuk mendapatkan jambar.

Raja Bius sungguh sebagai Raja Bius yang menjalankan fungsi dan perannya seperti di masa lalu, saya belum ketemu.

Saya hanya ketemu dengan beberapa orang yang adalah keturunan dari Raja Bius.

Pertanyaaan saya di atas, saya kira hanya akan terjawab tuntas dan utuh, barangkali setelah saya melakukan penelusuran lebih jauh. 

Kini muncul kerinduan saya untuk ber- ‘duc in altum’ – bertolak ke tempat yang dalam untuk menemukan jawabannya.

Medan, 22 Desember 2020, (Yoseph Tien).

NB:
Saya senang sekali bila ada dari antara para sahabat yang berkenan berbagi informasi dan referensi terkait catatan ini.

#hutanadat
#perhutanansosial
#kementerianlhk
#masyarakatadat
#pskl
#bpsklsumatra

KITA SERIUS, CORONA PUTUS.

NARKOBA DAN OBAT TERLARANG ADALAH RACUN MEMATIKAN.
MARI BERSAMA KITA SELAMATKAN GENERASI BANGSA INI DARI BAHAYA PENYALAHGUNAAN NARKOBA DAN OBAT-OBATAN TERLARANG LAINNYA.

TRENDING TOPIKMore