Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2024 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa, yang mengatur tugas fungsi serta Hak dan kewenangan Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa atau BPD, BPD memiliki peran penting dalam penyelenggaraan pemerintahan desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab.
Sesuai ketentuan Pasal 62, anggota Badan Permusyawaratan Desa berhak:
Baca Juga :
a. mengajukan usul rancangan Peraturan Desa
b. mengajukan pertanyaan
c. menyampaikan usul dan/atau pendapat
d. memilih dan dipilih
e. mendapatkan tunjangan dari anggaran pendapatan dan belanja Desa yang bersumber dari alokasi dana Desa dan besarannya ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Wali Kota
f. mendapatkan jaminan sosial di bidang kesehatan dan ketenagakerjaan
g. mendapatkan tunjangan purna tugas 1 (satu) kali di
akhir masa jabatan sesuai kemampuan Keuangan Desa yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Baca Juga :
Dengan adanya BPD sebagai Dewan Perwakilan Rakyat setingkat Desa, tentu penyelenggaraan Pemerintahan Desa mesti berjalan dengan baik, jauh dari praktik KKN. Namun pada faktanya, masih banyak Kepala Desa yang terjerat masalah korupsi dan menyalahgunakan kewenangannya sebagai pelayan masyarakat.
Bicara mengenai anggaran keuangan Negara untuk pembayaran tunjangan BPD, untuk setingkat Kabupaten Samosir misalnya dengan jumlah 128 Desa, bila diakumulasikan, perbulannya menelan Anggaran senilai kurang lebih Rp. 134 Juta Per Bulan untuk 5 orang BPD di setiap Desa, yang terdiri dari Ketua, Sekretaris, Bendahara, dan 2 orang anggota. Dalam satu tahun, berkisar 1,6 miliar Rupiah.
Sejauh ini, penulis belum melihat keberhasilan nyata dari BPD sebagai pengawas dan tempat penyaluran aspirasi masyarakat terhadap kurangnya pelayanan Pemerintah Desa dan tingkat keberhasilan desa yang sejak 2015 lalu telah di sokong dengan Dana Desa (DD) bersumber dari APBN senilai Rp. 1 miliar per Desa.
Baca Juga :
Sebaliknya, dibeberapa kesempatan lewat bincang ringan dengan beberapa Kepala Desa, justru banyak oknum BPD jadi duri dalam daging (tidak dijabarkan secara eksplisit) pada pelaksanaan penyelenggaraan Pemerintahan dan Keuangan Desa.
Seyogianya, dengan adanya BPD di setiap Desa, penyelenggaraan Pemerintahan Desa mestinya berjalan sesuai tuntutan Undang-undang tentang Desa. Kepala Desa mesti menjalankan roda Pemerintahan yang profesional, efektif, efisien, terbuka, bersih dan bertanggung jawab di bawah pengawasan yang profesional dari BPD.
Selain itu, besar keyakinan bahwa banyak oknum BPD yang tidak mengantongi Visi dan Misi Kepala Desanya sebagai parameter untuk melihat keberhasilan seorang Kepala Desa membangun dan membawa perubahan yang signifikan terhadap berbagai sektor perekonomian warganya, selama masa jabatannya sebagai pengguna dan penanggung jawab anggaran, serta sebagai pelayan ditengah masyarakat.
Kedudukan dan ruang pertanggungjawaban BPD sebagai Badan Permusyawaratan Desa, hingga kini juga masih menjadi dilema. Kita tau, bahwa BPD merupakan lembaga kemasyarakatan yang semestinya berdiri di ruang dan atap yang berbeda dengan Pemerintah Desa.
Baca Juga :
Namun pada faktanya, kebanyakan BPD belum memiliki gedung sendiri sebagai kantor pelayanan terhadap masyarakat. Masih berkantor satu atap dengan Pemerintah Desa.
Sehingga sampai hari ini, rata-rata BPD tidak memiliki program yang jelas. Fakta lapangan, banyak oknum BPD jarang berkantor, bahkan tidak jarang hanya datang ke kantor Desa bila waktu pencairan tunjangan tiba.
Satu hal yang perlu diperhatikan, khusus daerah homogen seperti Kabupaten Samosir, bila BPD belum mampu memilah antara tugas dan tanggungjawabnya sebagai BPD, dan posisinya dalam hubungan sosial Dalihan Natolu, maka fungsinya sebagai lembaga yang mendapat kewenangan oleh Undang-undang untuk mengontrol roda Pemerintahan Desa, mengawasi, serta mendorong Kepala Desa agar menjalankan tugasnya secara profesional, tidak akan berjalan dengan baik.
Melalui uraian singkat di atas, lantas, apakah Desa masih butuh BPD?.
Bila memang lembaga ini harus tetap berdiri karena sudah memiliki dasar hukum lewat pengesahan Rancangan Undang Undang (RUU) tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang terpenuhi setelah hasil Rapat Paripurna Ke-14 DPR RI di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Maret 2024 lalu.
Yang selanjutnya, Presiden RI, Ir. H. Joko Widodo mengesahkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2024, dan di Undangkan pada April 2024 yang didalamnya juga mengatur masa jabatan Kepala Desa dan BPD menjadi 8 tahun.
Baca Juga :
Maka, sudah sepatutnya Pemerintah Daerah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten, memikirkan, memberikan dan membuat ruang sosialisasi atau lebih tepatnya, membuka ruang audiensi khusus kepada seluruh BPD agar lebih memahami tugas dan fungsi pokoknya, serta kedudukan dan batas kewenangannya sebagai lembaga permusyawaratan Desa.
Mempertanyakan, seperti apa dan bagaimana BPD selama ini di Desa, program yang dilakoni, berikut pertanggungjawabannya selaku penerima uang Negara dalam bentuk tunjangan.
Apalagi saat ini, dengan telah di Undangkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2024 tersebut, masa jabatan BPD setara dengan Kepala Desa, yakni 8 tahun terhitung sejak dilantik.
Tidak menutup kemungkinan, masyarakat akan berlomba-lomba Ikut mencalonkan diri sebagai BPD. Namun setelah terpilih, tidak menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik sesuai amanat Undang-undang.
Bahkan isu yang beredar, para bakal calon BPD yang akan datang, akan ikut mempertontonkan praktik politik yang tidak sehat, dengan memberikan imbalan untuk di pilih, atau singkatnya politik uang.
Hal itu tentu tidak dapat dipungkiri akan terjadi, mengingat ruang audit terhadap kinerja dan pertanggungjawaban BPD belum jelas. BPD hanya akan bisa terjerat oleh hukum, bila terbukti secara sah, besama-sama dengan Kepala Desa melakukan tindakan penyalahgunaan keuangan Negara yang bersumber dari Anggaran Dana Desa (ADD) APBD, dan Dana Desa (DD) APBN.
Ketidakjelasan itulah yang kemungkinan besar memberikan peluang terhadap BPD tidak bekerja dengan sungguh-sungguh. Sehingga sebagai BPD, dianggap hanya sebuah sampingan belaka untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi melalui penerimaan tunjangan setiap bulannya.
Baca Juga :
Alternatif lain, agar ruang audit terhadap lembaga itu mutlak dapat dilakukan oleh auditor lembaga keuangan Negara, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Inspektorat, dan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Kepolisian, hingga Kejaksaan, maka BPD diberikan kewenangan untuk mengelola keuangan sendiri, serta hak yang diterima dalam bentuk tunjangan, menjadi dalam bentuk gaji pokok.
Dimana selama ini, tunjangan dan anggaran BPD untuk ATK dan sewa Gedung (Bagi lembaga BPD yang menyewa Gedung untuk dijadikan Kantor), sepenuhnya masih dikelola oleh Pemerintah Desa. (Helbos Sitanggang)
NARKOBA DAN OBAT TERLARANG ADALAH RACUN MEMATIKAN.
MARI BERSAMA KITA SELAMATKAN GENERASI BANGSA INI DARI BAHAYA PENYALAHGUNAAN NARKOBA DAN OBAT-OBATAN TERLARANG LAINNYA.